Awal September 2025, dua lembaga utama Republik Mahasiswa (REMA) Universitas Pendidikan Ganesha, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), melakukan audiensi terpisah ke DPRD Buleleng.
BEM lebih dulu hadir pada 1 September dengan delapan tuntutan, mulai dari pemangkasan gaji DPR RI, pembebasan massa aksi, reformasi institusional Polri, hingga pemerataan prasarana pendidikan di Buleleng. Kemudian, sehari berselang, MPM bersama organisasi eksternal kampus juga mengajukan tujuh tuntutan, di antaranya rekonstruksi Polri, penghentian penangkapan aktivis, pembatalan pengurangan Dana Transfer Daerah (TKD), serta peningkatan kesejahteraan guru.
Dua audiensi yang berdekatan ini memunculkan pertanyaan: apakah BEM dan MPM tidak searah?
Dalam struktur Republik Mahasiswa, BEM berperan sebagai eksekutif mahasiswa. Mereka menyerap aspirasi dan melaksanakannya dalam program. MPM menjadi legislatif mahasiswa, bertugas mengawasi, menyusun aturan, sekaligus menyalurkan sikap.
Ketua MPM, Andre Alfredo Gultom, menegaskan pihaknya memang tidak mengetahui lebih dulu rencana audiensi BEM. Namun ia menolak anggapan bahwa MPM ditinggalkan. “MPM sebenarnya tidak tahu mengenai audiensi BEM dengan DPR, tetapi bukan berarti tidak diajak karena memang sudah tugas dari BEM untuk menyampaikan aspirasi tersebut,” katanya.
Andre juga menjelaskan, tidak ada aturan yang melarang MPM melakukan audiensi. “Di UU Susdukor REMA tidak ditulis bahwa MPM tidak boleh untuk menyatakan sikap atau mengadakan audiensi dengan DPR, kecuali jika MPM mengadakan demo atau hal lain, baru dikatakan mengambil alih tugas BEM,” ungkapnya. Menurutnya, meski isi audiensi berbeda, MPM berhak membuat kajian sendiri. “Biarpun tidak bersama bukan berarti musuhan,” kata Andre.
Di sisi lain, Presiden Mahasiswa, I Wayan Reka Ningcaya Bawa, menyebut audiensi ke DPRD memang jalur yang dipilih BEM. “Kami ingin mengkomunikasikan ke DPRD langsung. Menyuarakan aspirasi mahasiswa. Tentang delapan tuntutan, kami menyerap aspirasi melalui BEM fakultas, lalu menyusun kajian, melansir dan mengutip berbagai media,” kata Reka.
Reka menekankan bahwa demonstrasi itu hanya opsi terakhir. “Turun ke jalan itu jalan terakhir jika audiensi tidak diterima. Jika tidak didengar pasti akan turun ke jalan. Intinya keresahan dan kritik itu tersampaikan,” ucapnya.
Dari delapan tuntutan, menurutnya, pemangkasan gaji DPR adalah yang paling krusial. “Persoalan itu berkaitan dengan efisiensi pendidikan, termasuk di kampus. Kebijakan dari pemerintah harus turun,” katanya.
Sehari setelah audiensi BEM, MPM hadir bersama organisasi eksternal. Andre mengatakan keterlibatan pihak luar adalah bentuk keterbukaan. “Audensi dengan GMNI tidak ada konsultasi, MPM membuka selebar-lebarnya kepada semua ormawa untuk bersinergi dengan MPM,” katanya.
Reka pun menilai hal itu bukan masalah. Ia menyatakan, “Setiap orang memiliki hak berpendapat.” Ia menolak anggapan bahwa MPM melampaui tupoksi. “BEM sudah mengupayakan untuk menyalurkan aspirasi. BEM sudah melaksanakan tupoksinya dengan baik,” terangnya.
Dinamika yang terjadi ikut memunculkan pertanyaan soal relevansi Undang-Undang Susdukor 2019. Andre menilai aturan itu perlu diperbarui. “Ada beberapa hal yang direncanakan ke depannya, yang akan mengeluarkan rancangan undang-undang yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Saat ini masih menjadi rancangan,” katanya.
Reka lebih berhati-hati. “Masih perlu dikaji. Tidak menutup kemungkinan,” ungkapnya.
Keduanya pun sepakat mahasiswa tak boleh diam soal isu nasional. Andre menilai aspirasi mahasiswa sah disampaikan. “Aspirasi audiensi itu masalah eksternal atau isu nasional yang berarti masih sah saja untuk MPM melakukan audiensi,” katanya.
Reka menyuarakan hal senada. “Diam di rumah saja itu bukan solusi. Kita sudah dilindungi UU untuk memiliki hak berpendapat. Suarakanlah, tetapi jangan anarkis. Anarkis itu oknum. Turun ke jalan itu menyampaikan aspirasi. Rugi punya wakil rakyat kalau aspirasi tidak disampaikan,” ujarnya.
Reka juga menyinggung dinamika yang terjadi di Bali. “Kalau bicara Bali, tentu identik dengan kedamaian. Tapi saat ada aksi ‘Aliansi Bali Tidak Diam’, banyak yang kontra. Padahal, turun ke jalan itu sah. Untuk mahasiswa Undiksha, pekalah dengan keadaan di sekitar kita. Baru-baru ini ada berita banjir. BEM sudah mengadakan diskusi, tapi masih banyak yang belum peka,” katanya.
Meski dijalankan terpisah, baik Andre maupun Reka menolak isu retaknya hubungan eksekutif dan legislatif mahasiswa. “Biarpun tidak bersama bukan berarti musuhan,” tegas Andre. Reka menambahkan bahwa BEM selalu berusaha terbuka. “Selalu mengajak untuk berkolaborasi, selalu berusaha merangkul,” ujarnya.
Dua pendekatan, hari yang berbeda, tetapi tetap satu tujuan. Dinamika yang terjadi antara BEM dan MPM Undiksha memperlihatkan bahwa perbedaan langkah bukanlah perpecahan, melainkan bentuk variasi dari cara mahasiswa menyuarakan keresahan publik.
Penulis:
-
Dhyana
- Miranda
- Adhika