“Aku, bukanlah dia! Susah memang… Kata aku jalan orang berbeda, bak mendekati garis finish, kalau ngga kesandung, yang nyalip di haluan)
(Penulis : Ni Komang Aprilia Enisari, 2021)
Posisi semester akhir memang terbilang kritis. Kecemasan-kecemasan muncul beriringan tanpa menuai titik terang. Kalau alurnya sih, dimulai dari ‘cari masalah’, judul, proposalan, dan pelengkap-pelengkapnya yang setelah final, jadi skripsi.
Kecemasan ini biasanya ditandai dengan susah tidur, susah makan, susah ngomong, salah susah, sesak nafas. Selain cemas dan susah perasaan lain, mungkin bingung juga jadi masalah. Bingung revisi-revisi, bingung bimbingan, atau pembimbing yang bingung dicari kemana, dimana… dimana… dimana?
Setelah bingung, muncullah satu kata yang kita sebut ‘terdesak’. Apalagi jika bukan, resiko atas bayang-bayang SPP/UKT yang menghantui bak setan gentayangan. ‘Terdesak’ ini secara tidak langsung mengancam kita untuk tamat tepat waktu, agar tidak harus bayar UKT/SPP.
Ditambah dengan masa Corona, istilah ilmiahnya sih COVID-19. Kata orang-orang Corona berdampak pada krisis, bukan hanya ‘duit’ tapi juga mental. Skripsi secara naluriah dikatakan menambah beban kita sebagai mahasiswa tingkat akhir yang krisis akan ‘duit’.
Skripsi ini aneh, ditulis berbulan-bulan, dibolak-balik sampai jadi balik ke awal, uang habis di foto copy-an, tapi mungkin berakhir dikiloan atau berakhir jadi bungkus kacang. Begitulah semester akhir, apalagi dengan mahasiswa jurusan ‘ngitung duit. Kata orang, jurusan ini dikit-dikit jadiin ‘duit’ sebagai pertimbangan.
Tapi, ada juga nih golongan mahasiswa yang emang pembawaannya santui anti ruwet. Apa-apa sih bodo amat. Mau skripsi bagus, keren, anti mainstream, standar, nggak banget, semua itu biasalahh, yang penting tamat!
Tapi kembali lagi, semua punya tipe, karakter, dan jenisnya masing-masing. Ada yang tipe nongkrongin perpus padahal numpang wifi. Ada yang tipe rajin, nongkrongin halte nungguin dosen. Ada yang tipe revisi semalem yang penting nyetor. Ada yang nongkrongin tongkrongan yang penting asik.
Masih banyak lagi, yang paling exstreme dan mungkin terjadi adalah mahasiswa tipe sibuk mondar-mandir cari jasa pembuat skripsi. Apalagi ditambah dengan kalimat Revolusi Industri 4.0 yang sekarang apa-apa bisa didapat di genggaman. Jangankan jasa ‘gojek’ jasa skripsi juga banyak di marketplace oranye. Slogan andalan adalah, santui aja, bodo amat, yang penting tamat!
Tipe serius ngerjain skripsi juga pasti ada. Tapi jumlahnya itu yang sulit kita berikan pembuktian secara kuesioner, karena kuesioner bisa saja di klik sangat setuju. Apalagi sih tipe mahasiswa tingkat akhir sekarang? Mungkin tipe tik-tokers juga ada, jangan salah selain sebagai wadah untuk joged-joded, Tik-Tok juga bisa menjadi wadah buat cepat tamat. Apalagi jika bukan, scrool Tik-Tok seharian buat cari-cari tips seputar skripsi, mungkin akan lebih bermanfaat, dan alternatif buat cepet tamat.
Pertanyan sulit untuk dijawab, setelah kita membicarakan yang santu-santui dan bodo amat, ternyata mahasiswa serius juga da, pastinya akan terlihat lebih gawat. Kerjaannya nguberin dosen mulu, cari tanda tangan ‘acc’ dosen gas aja, ehh yang di gas malah ilang entah kemana. Nah, inilah yang membuat mahasiswa serius cenderus gawat. Anehnya, hal semacam ini memupuk perasaan sakit hati serius pada mahasiswa tipe ini. Mengapa tidak? mahasiswa santui cenderung bodo amat, bisa jadi malah lebih mendahului tamat.
Mahasiswa serius kaget. Tiba-tiba saja temannya diam-diam santui malah duluan tamat, apalagi ngeliat prodi tetangga yang malah udah pada minggat. Itu sudah pasti memunculkan perasaan gawat tingkat kuadrat.
Dulu, saya punya seorang kenalan mahasiswa dari prodi yang berbeda. Orang-orang bilang dia tipenya serius. IPK-nya sudah tidak diragukan, auto 4.0 diperoleh di genggaman tangan. Ia tipe mahasiswa kuba-kuba (kuliah bandara, kuliah bandara) apalagi jika bukan untuk lomba, organisasi aktif sana sini, pengalaman segudang ilmunya, dan ia memiliki ambisi yang kuat untuk skripsi yang bagus dan sempurna. Padahal, seorang dosen pernah bekata pada saya, “skripsi itu tidak usah bagus-bagus, untuk golongan S1 masih belajar, skripsi terlalu bagus malah bikin anda repot’. Bahkan setelah saja baca buku setebel gaban, quote itu berkata “sebagus tesis pun skripsi itu, tak membuat lulusan magister di belakang namamu”.
Awalnya ia mengambil suatu judul penelitian yang agak berbeda dari teman-teman yang lain. Akhirnya, perbedaan itu membuat ia kesulitan mencari referensi, apalagi tentang penelitian terdahulu yang biasanya menjadi tuntutan sang dosen pembimbing. Nah, satu per satu teman-temannya tamat dan meninggalkannya sibuk di kampus.
Saya membayangkan, andai saja skripsi itu seringan kapas, dan tidak ditempa sana-sini, apalagi jika diarahkan menuju jalan yang benar. Mungkin saja, suatu kata bernama ‘Sarjana’ akan mudah mencapai finish. Pelajaran yang dapat kita petik adalah mahasiswa tidak harus membuat skripsi yang wah di mata orangdoesn/orang lain, bahkan berates-ratus halaman sampai membuat kantong kering di tukang fotocopy-an. Coba kita bayangkan, jika saja bapak Menteri kita, Nadiem Makarim mempercepat aturan kemendikbud tentang penghapusan skripsi, tentu saja syarat lulus sarjana bukan lagi skripsi, tapi banyaknya viewer Tik-Tok atau Youtube. Pasti lebih banyak tamatan jadi content creator apa mungkin… iya sukses instan!
Banyak hal yang harus kita pelajari untuk bersikap santui dan bodo amat. Bersikap seperti ini dapat mengajarkan kita untuk tidak memiliki beban. Bahkan untuk urusan skripsi sekalipun. Tapi, ketika nasib berkata tidak, maka mendapatkan pembimbing killer dapat menjadi boomerang. Saya rasa semua mahasiswa yang entah cerdas dengan IPK 4.0 sekalipun, akan berada pada posisi santui dan bodo amat, yang penting tamat!